K3? Apa sih itu yang namanya K3. K3 adalah kepanjangan dari
Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Sebagai gambaran, di banyak negara,
gaung K3 baru terdengar setelah tahun 70-an. Sementara di Indonesia,
baru terdengar gaungnya setelah tahun 1996 dan hal itu tertuang melalui
Permenaker No 5 Tahun 1996.
Bagi industri atau perusahaan, apalagi yang memiliki tingkat risiko
tinggi, K3 adalah suatu yang mutlak harus ada. Pasalnya, ini menyangkut
keselamatan dan kesehatan kerja. Mengingat betapa pentingnya K3 bagi
dunia industri, pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja mengeluarkan
Permenaker No 5 Tahun 1996, mewajibkan industri menerapkan Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
“Pada prinsipnya, SMK3 sama seperti ISO. Ada sistem dokumentasi dan audit,” jelas Firdaus.Kelebihan
SMK3, Pertama, Permenaker sifatnya wajib.Kedua, Di SMK3 lebih detail
masalah teknis. Ketiga, sistem penilaian SMK3 lebih baik dari OHSAS.
Keempat, inti penerapan SMK3 fokus pada tenaga yang bekerja.Dia kembali menuturkan, untuk sertifikasi, kemenaker menunjuk badan
sertifikasi dari perusahaan BUMN seperti Sucofindo. Sebenarnya
pemerintah membuka peluang ke pihak lain, seperti swasta untuk menjadi
badan sertifikasi. “Tapi minat dari swasta tidak ada atau pihak swasta
kurang berminat,” paparnya.
Nah, sementara, di level internasional menerapkan OHSAS 18.000. OHSAS
18.000 itu bagaimana mengatur sistem K3 dalam suatu organisasi.
Bagaimana K3 terlaksana dengan baik sesuai yang diharapkan. Keunggulan
OHSAS, penataan sistem manajemen K3 lebih baik.
Walaupun sama-sama mencakup sistem manajemen K3, ada sedikit
perbedaan antara SMK3 dan OHSAS, khususnya untuk industri dalam negeri.
SMK3 mewajibkan industri dalam negeri untuk menerapkannya. Sementara
OHSAS bersifat sukarela. Dengan kata lain, industri tidak wajib
menerapkan. Mau menerapkan tidak apa-apa, tidak menerapkan juga tidak
masalah.
Namun dalam perjalanannya, seperti diakui Firdaus, seorang Konsultan
ISO, setelah era reformasi, gema untuk mewajibkan SMK3 seolah hilang.
Padahal, sambung Firdaus, Selama Permenaker No 5 Tahun 1996 tidak
dicabut, SMK3 itu sifatnya wajib. “Tapi dengungnya yang seolah hilang,”
ujarnya kepada Quality Club.
Dia mengungkapkan, pemerintah mewajibkan SMK3 sudah barang tentu
dengan pertimbangan yang matang. Dan terbukti, industri atau perusahaan
yang menerapkan SMK3, angka kecelakaan kerja menjadi turun.
“Dan di era reformasi, industri yang semula menerapkan SMK3, tapi
sekarang tidak menerapkan lagi, cukup banyak terjadi kecelakaan kerja.
Dengan kata lain, kecelakaan kerja meningkat,” tukasnya.
Lalu bagaimana dengan Zero Accident? “Khusus untuk K3 yang namanya
target harus zero. Jangan ditarget 1 %. Berarti ada kecelakaan. Tapi
dalam prakteknya tidak pernah zero. Paling tidak mendekati.”
Lantas, apa sih yang membuat SMK3 terkesan tidak wajib lagi
industri, terutama yang berisiko tinggi? Dengan tegas, Firdaus
menekankan bahwa pemerintah bukan tidak mewajibkan. Oknum yang membuat
regulasi yang menjadi masalah. Regulator tidak aktif. Padahal
regulasinya wajib.
“Dulu, begitu diwajibkan, orang dari Depnaker selalu rutin melakukan
kontrol ke industri. Sekarang sepertinya kurang jalan,” terangnya lagi.
Jangan ada diskriminasi
Bila ditilik lebih jauh, agaknya cukup beralasan pemerintah
mewajibkan SMK3 bagi industri. Karena ini menyangkut K3. SMK3 banyak
manfaatnya buat manajemen.
“Dengan menerapkan SMK3 akan memperkecil biaya tak terduga. Dengan
SMK3 karyawan menjadi lebih terpantau. Bagaimana kerja tidak celaka.
Secara jangka panjang akan menurunkan cost produksi untuk biaya tak
terduga. Biaya tak terduga di industri rata-rata 20 %. Dan bisa
ditekan,” ujarnya seraya mengakui memang ada kecenderungan industri
lebih mengarah ke OHSAS 18.000.
“Terkait hal itu, ada beberapa masukan dari saya untuk dunia
industri. Pertama, industri agar memperlakukan karyawan sebagai
manusia. Kedua, jangan membedakan perlakuan antara karyawan tetap
dengan karyawan kontrak. Ketiga, mentaati ketentuan yang dikeluarkan
pemerintah,” cetusnya.
Dia pun memberi contoh terhadap perlakuan diskriminasi yang dialami
karyawan kontrak di suatu perusahaan. Karyawan itu tidak bisa lihat
sebelah. Kenapa hal itu tidak dimasukkan dalam laporan K3. Manajemen
bilang tidak perlu dilaporkan, karena dia bukan karyawan tetap.
“Padahal, perusahaan itu sudah SMK3. Bahkan perusahaan itu dapat
predikat A dari Depnaker untuk K3,” ucapnya.
Lantas, kenapa hal seperti itu bisa terjadi? “Implementasinya tidak
salah. Yang salah oknumnya. Bagaimana manajemen memberi perlakukan
terhadap karyawan tetap dan kontrak,” ujarnya seraya menambahkan,
oknum seperti itu ada di semua level.